Jumat, 07 November 2008

PPh Pasal 23 atas Jasa Angkutan di Darat

Dasar Hukum atas pemotongan PPh Pasal 23 atas Jasa Angkutan Umum di Darat diatur dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa "sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta" dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto.

Perkiraan penghasilan neto selanjutnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-70/PJ/2007 tanggal 09 April 2007 yang berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan saat ini. Sebelum peraturan ini diterbitkan bahwa yang berlaku adalah Per-178/PJ/2006 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 atas persewaan alat angkutan darat. Sehingga dengan berlakunya Per-70/PJ/2007 maka Per-178/PJ/2006 dan SE-08/PJ.313/1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Per-70/PJ/2007 diatur bahwa "atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong PPh sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang membayar.

Penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dipotong PPh Pasal 23 sebagaimana diatur dalam Per-70 tersebut adalah sewa dan penggunaan harta selain yang telah dikenakan PPh bersifat final (sewa tanah dan atau bangunan) artinya bahwa atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (tanah dan atau bangunan) yang telah dikenakan PPh bersifat final tidak lagi dipotong PPh Pasal 23.

Dalam lampiran I Per-70 diatur bahwa perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak tertulis ataupun tidak tertulis sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. Sehingga tarif efektif PPh Pasal 23 atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat sebesar 1,5% (satu koma limapuluh persen).

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat adalah :



  1. sewa angkutan umum berupa bus, minibus, taksi yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan, maupun bulanan;


  2. sewa kendaraan milik perusahaan persewaan mobil, perusahaan bus wisata yang bukan merupakan angkutan umum yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan, maupun bulanan;


  3. sewa kendaraan berupa milik perusahaan yang disewa atau dicarter untuk jangka waktu tertentu yaitu secara harian, mingguan, maupun bulanan.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa yang menjadi pedoman atau standar atau acuan dalam menetapkan apakah jasa angkutan umum di darat dikenakan PPh Pasal 23 adalah "untuk jangka waktu tertentu seperti jam-jaman, harian, mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan" sedangkan adanya perjanjian tertulis tidak menjadi pedoman atau standar. Sehingga apabila penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta atas jasa angkutan khususnya di darat berdasarkan banyaknya volume barang atau berat barang atau jarak tempat tujuan bukan objek pemotongan PPh Pasal 23 karena tidak diatur dalam Per-70 tersebut.


Jasa pengangkutan di darat kecuali jasa angkutan umum yang merupakan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas dikenakan PPh Pasal 23 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah bruto sehingga tarif efektifnya sebesar 4,5% (empat koma lima persen).


Kesimpulan :


Bahwa jasa angkutan di darat dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN apabila kendaraan angkutan di darat tersebut disewa atau dicarter dalam jangka waktu tertentu misalnya jam-jaman, harian, mingguan, maupun tahunan. Sehingga jika tidak dalam jangka waktu tertentu maka jasa angkutan di darat tersebut bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 23.


Khusus untuk jasa pengangkutan di darat kecuali jasa angkutan umum yang merupakan jasa penjunjang dalam pertambangan selain migas merupakan Objek PPh Pasal 23 sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN karena sudah secara jelas diatur dalam Per-70/PJ/2007.

Rabu, 14 Mei 2008

Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta

Dalam ketentuan perpajakan yang dimaksud dengan pengalihan harta terdiri dari :

  1. transaksi jual beli harta;
  2. transaksi tukar menukar harta;
  3. harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
  4. harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
  5. hibah, bantuan, sumbangan, atau warisan

pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, maka nilai pengalihan yang digunakan adalah harga pasar. Pengalihan harta dalam rangka transaksi jual beli, tukar menukar, dan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka nilai pengalihan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Mengapa ketentuan perpajakan menggunakan prinsip berdasarkan harga pasar? menurut pendapat penulis bahwa penggunaan harga pasar adalah sebagai parameter atau ukuran khususnya apabila transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties transaction) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. Bahwa adanya hubungan istimewa (related parties) antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan atau harga penjualan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan jika transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (no related parties transaction).


Nilai pengukuran selain harga pasar juga dapat digunakan nilai sisa buku (pooling of interest). Hal ini dilakukan dalam rangka menyeleraskan dengan kebijakan sosial, ekonomi, investasi, moneter, dan kebijakan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah. Nilai sisa buku dalam hal ini adalah nilai sisa buku fiskal. Kata "dapat" mengandung pengertian normatif artinya tidak mutlak karena harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Penggunaan nilai sisa buku sebagai nilai pengalihan adalah untuk transaksi :

  1. harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
  2. hibah, bantuan, sumbangan, atau warisan

Pada tanggal 13 Maret 2008 diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PKM.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku. Merger yang dimaksud meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang paling kecil. Peleburan usaha adalah penggabungan dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.


Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama. Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah :

  1. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau
  2. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).

Beberapa ketentuan yang diatur agar dapat menggunakan nilai buku sebagai nilai pengalihan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha sebagai berikut :

  1. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger atau pemekaran usaha;
  2. Melunasi seluruh hutang pajak dari tiap badan usaha yang terkait;
  3. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test);
  4. Wajib Pajak yang melakukan merger tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/Wajib Pajak yang dilebur;
  5. Penyusutan harta yang diterima dilakukan berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan;
  6. Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan pada tahun berjalan, maka jumlah angsuran PPh Pasal 25 dari pihak atau pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang wajib dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan;
  7. Pembayaran, penmungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan sebelum dilakukan merger atau pemekaran usaha dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau pemotongan PPh dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan;

Khusus untuk Wajib Pajak yang akan menjual sahamnya di bursa efek, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif, jangka waktu 1 (satu) tahun tersebut dapat diperpanjang karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan untuk segera melakukan pendaftaran kepada Bapepam dalam rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) sesuai dengan jangka waktu yang telah diatur maka nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan dengan menggunakan nilai buku dihitung kembali berdasarkan harga pasar.


Pengalihan Harta karena Hibah, Bantuan, Sumbangan, dan Warisan

Dalam hal terjadi pengalihan harta karena hibah, bantuan, dan sumbangan yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 atau warisan maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui mana nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Persyaratan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a tersebut adalah :

  1. bantuan atau sumbangan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan antara pihak pemberi dan penerima hibahan tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, dan penguasaan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta karena hibah, bantuan, dan sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diuraikan di atas maka nilai pengalihan menggunakan harga pasar.

Senin, 05 Mei 2008

Kuasa Dalam Pengurusan Perpajakan

Dasar Hukum :
1. Pasal 32 ayat 3 UU No. 28 Tahun 2007
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008

Sejak diundangkannya UU No. 28 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 terjadi perubahan yang mendasar atas seorang Kuasa dalam pengurusan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Perubahan tersebut adalah bahwa seorang Kuasa tidak terbatas kepada Konsultan Pajak tetapi dapat juga diberikan kepada Bukan Konsultan Pajak. Wajib Pajak yang dapat memberikan kuasa kepada Bukan Konsultan Pajak adalah Wajib Pajak yang memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dalam setahun;
  3. Wajib Pajak Badan dengan peredaran usaha tidak lebih dari Rp 2.400.000.000,- (dua milyar empat ratus juta rupiah) dalam setahun;

termasuk dalam pengertian Bukan Konsultan Pajak adalah karyawan Wajib Pajak.

Persyaratan Kuasa yang Bukan Konsultan Pajak :

  1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir;
  3. Memiliki sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang-kurangnya Diploma III, yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A;dan
  4. Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

keempat syarat tersebut merupakan syarat kumulatif artinya seluruhnya harus dipenuhi.

Persyaratan Kuasa yang Konsultan Pajak :

  1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir;
  3. Memiliki Surat Ijin Konsultan Pajak yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan; dan
  4. Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

keempat syarat tersebut juga merupakan syarat kumulatif.

Surat kuasa paling sedikit memuat :

  1. nama, alamat, dan tanda tangan di atas meterai, serta NPWP dari Wajib pajak yang memberi kuasa;
  2. nama, alamat, dan tanda tangan, serta NPWP penerima kuasa;
  3. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan.

Satu surat kuasa khusus hanya untuk 1 (satu) pelaksana hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu. Seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.

Sorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau karyawannya dengan membuat Surat Penunjukan, terbatas untuk menyampaikan dokumen dan/atau menerima dokumen perpajakan yang diperlukan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang dikuasakan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu.

Wajib Pajak dapat meminta karyawannya untuk menyampaikan dokumen dan/atau menerima dokumen perpajakan yang diperlukan tanpa surat penunjukan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampakan melalui Tempat Pelayanan Terpadu.

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana tersebut di atas merupakan suatu kesempatan bagi perguruan tinggi yang memiliki program Diploma III perpajakan untuk mencetak tenaga ahli perpajakan yang mumpuni.